Sabtu, 19 April 2014

Isi Makalah: Sumber-Sumber Hukum Islam




SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM



Adapun sumber-sumber hukum islam baik yang disepakati maupun yang tidak disepakati ulama yakni :
 1. Al-Qur’an 2. Hadist 3. Ijma’ 4. Qiyas 5. Istihsan 6. Istishab 7. Mashalihul Mursalah 8. Al-‘Urf 9. Syar’u Man Qablana (syara’ umat sebelum kita) 10. Saddudz Dzari’ah 11. Mazhab Shahaby(pendapat sahabat).
            Sumber hukum tersebut bila diadakan penggolongan-penggolongan berdasarkan :
1.      Sumber yang berupa nas dan sumber yang tidak berupa nas
2.     Sumber-sumber naqli dan sumber fikiran
3.     Sumber yang sudah disepekati dan yang belum disepakati
4.     Sumber-sumber pokok dan sumber-sumber tambahan
5.     Sumber-sumber dari syara’ (Qur’an dan hadist) dan sumber-sumber dari fiqih.
(Ahmad hanafi :1970:54)




1.    Al-Qur’an
Al-Qur’an ialah kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril sebagai kitab suci agama islam. Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum yang lain dan merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Sumber hukum maupun ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al-Qur’an.
            Al-Qur’an terdiri dari 114 surat dengan jumlah ayat 6342. Keseluruhan waktu turunnya adalah 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari, dan terbagi dalam 2 fase. Yaitu fase selama Rasul berada di Mekkah, kurang lebih 12 tahun, 2 bulan dan 22 hari, dan fase selama ia berada di Madinah. Kurang lebih 10 tahun.
            Ayat-ayat yang turun di Mekkah pendek-pendek dan berisi soal-soal keimanan, sedang ayat-ayat yang turun di Madinah banyak yang berisi hukum-hukum dan tata aturan kemasyarakatan. Oleh karena itu kebanyakkan ayatnya panjang-panjang, sesuai dengan tabi’at kata-kata pada perundang-undangan. (Ahmad hanafi :1970:54-55)
            Pedoman Al-Qur’an dalam menetapkan hukum :
1.      Tidak memberatkan
2.     Meminimalisir beban
3.     Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum (Al-hikmah:2008:22)




2.    Hadist Nabi SAW
Hadist isalah apa yang diriwayatkan dari nabi Muhammad SAW, baik berupa kata-kata atau perbuatan atau penetapan(taqrir). Penetapan tersebut bisa terjadi, apabila salah seorang sahabat mengucapkan sesuatu atau mengerjakan sesuatu pada kehadiran rasul, atau ia mendengar adanya sesuatu ucapan atau perbuatan dari seorang sahabat yang tinggal jauh dari rasul, kemudian ia diam saja atau menganggapnya baik, maka hal ini dianggap sebagai persetujuan atas ucapan atau perbuatan sahabat tersebut.
     Kedudukan hadist sebagai sumber hukum islam sesudah Al-Qur’an adalah disebabkan karena kedudukannya sebagai juru penerang Al-Qur’an, dalam bentuk menjelaskan ketentuan yang masih dalam garis besar atau menguraikan kejanggalan-kejanggalannya atau mebataskan keumumannya, atau menyusuli apa yang belum disebut oleh Al-Qur’an
     Ulama-ulama hadist mengadakan penggolongan terhadap hadist berdasarkan cara pemberitaanya, yaitu :
·         Hadist mutawatir : hadist yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad oleh orang yang menurut kebiasaan tidak mungkin berbuat dusta, kemudian diterima oleh orang banyak.
·         Hadist masyhur : diriwayatkan oleh perseorangan dari Nabi Muhammad kemudian pada masa-masa berikutnya diriwayatkan oleh orang banyak dengan keadaan seperti hadist mutawatir.
·         Hadist ahad : darii nabi saw sampai seterusnya hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan
Kemudian hadist ahad dibagi kepada shahih(benar), Hasan(bagus), dan dla’if(lemah), dengan didasarkan kepada keadaan diri si perawi, seperti ketelitian-ingatan dan kejujuran pribadi dan keadaan periwayatan itu sendiri, seperti harus tidak berbeda dengan periwayatan orang lain yang baik-baik. (Ahmad hanafi :1970:57-59).





3.  Ijma’
ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum syara’ untuk satu peristiwa(kejadian). Dari rumusan tsb dapat diambil beberapa penjelasan sebgai berikut :
1.      Kesepakatan adalah kesamaan pendapat baik disampaikan secara tegas melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu.
2.     Seluruh mujtahid berarti masing-masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka tidak terjadi ijma’.
3.     Pada zaman Rasulullah saw tidak ada ijma’ sebab setiap terjdi ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada rasul, lalu beliau menteapkan hukumnya.
4.     Atas hukum syara’ ijma’ hanya terjadi bagi masalah yang berhubungan dengan hukum syara’ dan berdasar kepada hukum syara’ pula ; baik berupa nash yang qoth’I yaitu Al-Qur’an dan hadist mutawatir, sebab ijma’ bukanlah dalil syar’I yang berdiri sendiri.
 (Depag : 2002:275)

Macam-macam dan tingkatan ijma’ :
1.      Ijma’ Sharih(jelas) : ijma’ yang memaparkan pendapat banyak ulama’ secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Ijma’ ini menempati peringkat ijma’ tertinggi. Hokum yang ditetapkannya bersifat qat’i, sehingga umat wajib mengikutinya.
2.     Ijma’ Sukuti(diam) : sebagian mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu hukum suatu peristiwa melalui perkataan dan perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak. Ijma’ sukuti ini bersifat dzan dan tidak mengikat. (Al-Hikmah:2008:32)




4.   Qiyas
     Qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan alam antara keduanya yang disebut “illat”.
       Sebagian ulama’ sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hukum islam. Ulama’ yang menjadikan qiyas sebgai sumber hukum disebut musbitul qiyas dan mereka mempunyai dasar yang kuat baik nas maupun akal. Tidak kurang dari 50 ayat Al-Qur’an yang mendorong manusia menggunakan akalnya. (Ahmad hanafi :1970:63)
       Macam-macam Qiyas, yaitu :
1.      Qiyas Aula : qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum.
2.     Qiyas Musawi : qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada apada al-ashluu maupun hukum yang ada pada al-far’u(cabang).
3.     Qiyas Adna : adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. (Al-Hikmah:2008:35-36)




5.   Istihsan
       Menurut  pengertian bahasa, istihsan berarti menganggap baik. Sedang menurut ahli ushul yang dimaksud dengan istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly(jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy(samar-samar) atau dari hukum kully(umum) kepada hukum yang bersifat istina’y(pengecualian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
     Dari pengertian diatas jelas bahwa istihsan itu ada 2, yaitu :
1.      Menguatkan khiyas khafi atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama hanafiah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
2.     Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan . menurut dalil kully syara’ melarang jual beri yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan.
Para ulama berpendapat tentang kehujjahan istihsan :
1.      Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
2.     Golongan hanafiah membolehkan berhujjah dengan istihsan . Menurut mereka , berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang di kuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil uyang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk mengecualikan  sebagian dari hukum kully. Dan imam malik dan pengikutnya juga menggunakan istihsan tapi dikalangan mereka populer dengan istilah masholihul mursalah. (Al-Hikmah:2008:44-45)




6.  Istishab
       Istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada hukum yang mengubahnya.
    Pendapat ulama tentang kehujjahan istishab :
1.      Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an, as-Sunnah maupun ijma’. Ulama yang termasuk kelompok ini adalah syafi’iyah, hanabillah, malkiyah, dhahiriah, dan sebagian kecil dari ulama hanafiah dan ulama syiah.
2.     Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Yakni ulama hanafiah. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian seperti yang disebutkan tadi adalah tanpa dasar. (Al-Hikmah:2008:45-46)


  
7.         Mashalihul Mursalah
       Mashalih bentuk jama’ dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan  yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
    Pendapat ulama mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai hukum :
1.      Jumhur ulama menolaknya sebagai hukum, dengan alasan :
a.     Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang di benarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
b.     Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2.     Imam malik membolehkan berpegang kepadanya secar mutlak. Namun menurut imam syafi’I boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
a.     Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’I (Allah). Tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
b.     Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukumuntuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari’. Misalnya membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.
3.     Syarat-syarat berpegang kepada mashalihul mursalah :
a.     Maslahat itu harus jelas dan pasti bukan untuk kepentingan pribadi.
b.     Maslahat itu bersifat umum, bukan  untuk kepentingan pribadii
c.     Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nas atau ijma’. (Al-Hikmah:2008:46-47)




8.  Al-‘Urf
       Al-‘urf ialah segala sesuatu yang sudah daling dikenal dan di jalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi istiadat(kebiasaan), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat indonesia pada perkawinan ialah bahwa keluarga dari pihak calon mempelai perempuan untuk meminangnya.
Macam-macam al-‘urf dan hukumnya :
1.      ‘Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban.
2.     ‘Urf fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara. ‘Urf jenis ini hukumnya haram. (Al-Hikmah:2008:47)





9.  Syar’u man Qablana
Yaitu syari’at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama islam.
     Pembagian dan hukumnya :
1.      Apa yang disyari’atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat nabi Muhammad, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti qishash.
2.     Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak disyari;’atkan kepada kita.  Misalnya yang disyari’atkan kepada nabi Musa, seperti “dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut’. Terhadap syari’at jenis kedua ini para ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syari’at kita telah menghapusnya. (Al-Hikmah:2008:48)




10.Saddudz Dzari’ah
Ialah melarang perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
     Kedudukannya sebagai sumber hukum :
1.      Menurut imam malik bahwa saddudz dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
     Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : “Sesungguhnya apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang(maksia) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan.
     Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk saddudz dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat itulah yang termasuk saddudz dzari’ah.
2.     Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I, bahwa saddudz dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. (Al-Hikmah:2008:49)




11.Mazhab syahaby
     Ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah wafat. Fatawa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati(ijma’ sahaby) dan hasil ijtihad yang tidak disepakati.
Kedudukan mazhab shahaby :
1.    Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab hakikatnya ia merupakan sunnah Rasul.
2.   Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati(ijma shahaby) dapat dijadikan hujah dan wjib ditaati, sebab mereka disamping dekat dengan Rasul, mereka mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sering terjadi, antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yakni seperenam.
3.   Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadkan hujah dan tidak wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi’I menyatakan : “Tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujah”. Sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada ra’yu dan diantara sahabat sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari kesalahan. (Al-Hikmah:2008:50)





Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
          Yang diatur dalam hukum  islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan drinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda dan manusia dengan lingkungan hidupnya. Tujuan hukum islam lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak terbatas kepada lapangan materiil yang bersifat sementara, karena factor-faktor  individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya selalu diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain, dan dengan hukum isalm dimaksudkan agar kebaikan mereka semua dapat terwujud.

Dalam lapangan ibadah misalnya, shalat, puasa, zakat, dan haji, dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan mempertemukannya dengan Tuhan, kesehatan jasmani dan kebaikan individu maupun masyarakat bersama-sama dengan berbagai-bagai seginya. Pada lapangan mu’amalat(hubungan sesame manusia)dengan segala macamnya tujuan tersebut Nampak jelas juga, seperti yang terlihat pada aturan-atutan pokok hukum islam yang menguasai lapangan tersebut.
            Peranan utama hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat :
a.     Fungsi ibadah. Fungsi paling utama hukum islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum islam adlah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
b.     Fungsi ‘amar ma’ruf nahi munkar. Hukum Islam sebagai hukum yang ditujukan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia, jelas alam praktik akan selalu bersentuhan dalam masyarakat.
c.     Fungsi “zawajir”.. fungsi ini terlihat dalam pengharaman mmbunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukuman atau sanksi hukum. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.
d.     Fungsi “tanzim wa islah al-ummah”. Sebagai sarana unruk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi social sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaiman aterlihat dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni : masalah muamalah yang pada umumnya hukum islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
(Ibrahim Hosen, 1996 : 90)




Syarat-Syarat Hakim
Syarat-syarat Hakim :
1.      Warga Negara Indonesia;
2.     Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.     Setia kepada pancasila dan UUD 1945;
4.     Bukan bekas anggota organisasi terlarang;
5.     Berijazah sarjana hokum(diutamakan S3);
6.     Berumur serendah-rendahnya 50 tahun dan setinggi-tingginya 60 tahun;
7.     Berpengalaman sekurang-kurangnya 25 tahun di bidang hokum,baik sebagai pengajar,peneliti,atau pengacara/konsultan hokum*1)
8.     Berwibawa,jujur,adil, dan berkelakuan baik.



Seorang hakim dilarang merangkap jabatan sebagai berikut :
1.      Pelaksana putusan MA;
2.     Wali,Pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang akan sedang dioeriksa;
3.     Penasehat hokum;
4.     Pengusaha*2)
5.     Pejabat pada pemerintah;
6.     Angoota DPR,DPRD.Tk 1/Tk 2;
7.     Anggota DPA/BPK;
8.     Pengurus, termasuk pengawas atau komisaris BUMN/BUMD;
9.     PPAT
10.   Anggota P4P atau P4D
11.    Wasit (arbiter) dalam perkara perdata;
12.   Anggota PUPN;


5
Hakim agung atau hakim yang menjabat sebagai pejabat pemerintah dibebaskan sementara dari jabatanhakim agung atau  hakim.
Bagi hakim selain hakim agung,pembebasan juga berlaku dalam hal menjabat sebagai anggota DPR, DPRD Tk.1/DPRD Tk.2
 Untuk  jabatan selain tersebut di atas,maka hakim agung atau hakim akan diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim agung/hakim*3)
Pembebasan sementara Hakim Agung ditetapkan oleh Presiden. Bagi hakim lain,pembebasan sementara ditetapkan oleh menteri yang melingkupi tugas wewenang administrai,organisasi, dan keuangan pengadilan yang bersangkutan.
Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :

1.   Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
2.   Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
3.   Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap
4.   Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang

Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :

1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :
a.  Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu
b. Pelaksanaan putusan provinsi
c. Pelaksanaan akta perdamaian
d. Pelaksanaan Grose Akta

2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan.
3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi.
4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.

Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi tidak berwenang melaksanakaan eksekusi.





Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Pengenalan Hukum di Indonesia
A.       Proses MasuknyaKebudayaan dan Pengaruh Islam
Menurut teori Receptie, semenjak Islam datng ke Indonesia sekitar abad ke-7 M,telah membawa perubahan-perubahansosial dalam kehidupan masyarakat.Kebudayaan Islam diterima oleh masyarakat Indonesia walaupun pada mulanya terjadi pertentangan dengan kebudayaan penduduk asli yang telah lama dipengaruhioleh unsure-unsur kebudayaan timur dan Budha. Pada tahapakhir dari proses pertemuan kebudayaan tersebut terjadi semacam akulturasi, artinya kebudayan yang saling berbeda dapat diterimaoleh masyarakatdan di olah dalam masyarakat itu sendiri,tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian budaya itu sendiri.
     Perubahan-perubahan social budaya yang terjadi meliputi budaya spiritual,seperti ajakan agama Islam yang secara kualitatif telah mengagungkan hidup yang lebih maju terutama dalam bidang  Ketuhanan Yang Maha Esa yang membebaskan manusia dari sifat kemusrykan dan ketakhayulanlain. Perubahan-perubahan lain yang kita soroti di sini adalah hokum, karena perubahan social tidak munkin dilepaskan dari perubahan dalam bidang hokum itu sendiri.


B.      Perjuangan Tegaknya Hukum Islam di Indonesia
Kondisi masyarakat Indonesia bersifat pluralistic(majemuk), yang terdiri dari berbagai suku,ras, dan agama/kepercayaan ang berbededa. Oleh karena itu,hukum yang berbeda-bedapun berlaku di bebragai daerah di Indonesia.
Hukum Islam pun tidak serta-merta  menjadi hukum yang mendominasi dan harus berlaku di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya ‘teori receptie’ yang dibuat oleh Snouck Hugronge(1857-1936) ketika ia menjadi penasihat utama bagi pemerintah Hindia Belanda yang ajarannya berisi bahwa hukum Islam tidak berlaku abgi umat Islam di Indonesia atau dengan kata lain hukum Islam bukanlah hukum Indonesia kalau tidak dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Formalnya teori ini tercantum dalam 1.5.Indische Staatscegeling pasal 134 ayat(2).
Jika ditelusuri lagi  sejarah pada abad ke-7, dapat dilihat bahwa hokum Islam telah masuk dalam masyarakat Indonesia melalui penerimaan keadaan kehidupan sehari-hari, yang disebut dengan ‘hukum adat’. Hal ini jelas mencerminkanbahwa hokum Islam masuk dan meresap dalam masyarakat Indonesia dengan cara ‘pembinaan’, sehingga hokum Islamdapat diterima dantidak dibenarkan bahwa hukum Islam harus tunduk dengan hukum adat yang telah banyak berubah kearah yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Namun, para pemikir Indonesiasangat berpegang pada teori teceptie ini dan beranggapan bahwa hukum Islam baru bias diberlakukan apabila telah dikehendaki oleh hokum adat.
Polemic ini telahmenjadi pokok pembicaraan yang dibicarakan oleh para sarjana hokum Indonesia. Dan menyatakan bahwa teori receptie ini adalah “Teori Iblis”. Juga dinyatakan bahwa teori ini sangat bertentangan dengan UUD 1945(ProfDr.Hazairin,1985:12).
Teori ini harus exit, karena sangat bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah Rasul. Selain itu ada juga teori “Receptie e Contrtario” yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum islam(Sayuti Thalib,1985:13).
C.   Harapan baru  Hukum Islam dan Kontriibusinya terhadap hokum di Indonesia
Pada awal masa orde baru, ada harapn baru bagi dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia. Harapan baru itu timbul setidaknya karena umatIslam member kontribusi yang cukup dalam menunbangkan rezim orde lama. Namun, pada realisasinya keinginan ini bertabtakan dengan strategi  pembengunan orde baru  yaitu membicarakan masalah ideology  selain pancasila terutama yang bersifat keagamaan(DR.Amiir Nurudin,1985:14).
Dalam orde baru   ini, banyak produk hukum Islam yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal , walaupun didapat dengan perjuangan keras umat Islam  di antaranya oleh Ismail Sunny. Beberapa peraturan perundanga-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam :
1.          UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan
Politik hukum memberlkakukan hukum Islam  bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru, ini dibuktikan dlam pasal 2UU ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepecayaan. Dan pada pasal 63 dijelasakn  bahw ayang dimaksudd denga pengadilan dalam UU ini  adlah Pengadilan Agama(PA) bagi umat Islam dan Pengadilan Negeri(PN) bagi agama lain. Dengan Undang-undang ini, pemerintah dan DPR  memberlakukan hukum Islam bagi pemeluknya dan mengesahkan  pengadilan agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.

2.          UU No.7 1989,tentangPeradilan Agama.
Dengan disahkan Undang-Undang PA tersebut,maka terjadiperubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA, di antanranya:
Ø PA telah menjadi persdilsn msndiri, kedudukannya  benar-benar  telah sejajar dengan peradilan umum,peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Ø Nama, susunan, wewenang, kekuasaan, dan hukum acaranya telah  sama dan seragam di seluruh Indonesia. Dengan kata lain Univikais hukum acara PA memudahkan  ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.
Ø Terlaksanya pembangunan hukum  nasional berwawasan  nusantara  dan Bhineka Tunggal  Ika dalam UU PA.
3.          Instruksi  Presiden No. 1 1991tentang Kompilasi Hukum Islam

Untuk mengerti ketidakpastian patokan hukum yang digunakan  para hakim untuk mencetuskan sebuah perkara, sehingga terbitlah keputusan  bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung(MA), dan  Departemen Agama yang membentuk proyek kompilasi hukum Islam dengan tujuan merancang 3 buku hukum, yang masing-masing tentang  Perkawinan (buku 1), Buku Kewarisan(buku 2), dan buku Hukum perwakafan (buku3).
          Bulan Februari 1988, ketiga buku tersebut mendapat dukungan luas dari para Ulam Indonesia, sampai pada tanggal 10 Juni 1991, presiden Suharto  menandatangani instruksi Presiden  No. 1  tahun 1991 sabagai dasar hukum berlakunya ketiga buku tersebut.
4.          Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977, tentang Perwakafan Tanah.
5.          UU RI No.38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
6.          UU RI No.  Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Haji.
Seiring dengan berjalannya waktu, hukum Islam semakin diterima dalam kehidupan masyarakat, namum diperlukan waktu yang lama untuk dapat menanamkan nilai-nilai Islam di masyarakat agar dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.







Daftar Pustaka

Team Musyawarah Guru Bina PAI,  Modul Pembelajaran Fiqih kelas III untuk Madrasah Aliyah (AL-HIKMAH),
Akik Pusaka.
Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
www. google. com//Wahyu Kuncoro, SH. Tips-Trik Pelaksanaan Hukum Peradilan.
Mansoer, Hamdan. 2004. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta, Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam Departemen RI.
            Departemen Agama RI, Fiqih Kelas III Madrasah Aliyah, Semarang, Toha Putra.