SUMBER-SUMBER HUKUM
ISLAM
Adapun sumber-sumber hukum islam baik
yang disepakati maupun yang tidak disepakati ulama yakni :
1. Al-Qur’an 2. Hadist 3. Ijma’ 4. Qiyas 5.
Istihsan 6. Istishab 7. Mashalihul Mursalah 8. Al-‘Urf 9. Syar’u Man Qablana (syara’ umat sebelum kita) 10. Saddudz Dzari’ah 11. Mazhab Shahaby(pendapat sahabat).
Sumber
hukum tersebut bila diadakan penggolongan-penggolongan berdasarkan :
1. Sumber yang berupa nas dan sumber yang
tidak berupa nas
2. Sumber-sumber naqli dan sumber fikiran
3. Sumber yang sudah disepekati dan yang
belum disepakati
4. Sumber-sumber pokok dan sumber-sumber
tambahan
5. Sumber-sumber dari syara’ (Qur’an dan hadist)
dan sumber-sumber dari fiqih.
(Ahmad hanafi :1970:54)
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an
ialah kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara
malaikat Jibril sebagai kitab suci agama islam. Al-Qur’an merupakan sumber
hukum utama dan menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum yang lain
dan merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Sumber hukum maupun ketentuan
norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al-Qur’an.
Al-Qur’an
terdiri dari 114 surat dengan jumlah ayat 6342. Keseluruhan waktu turunnya
adalah 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari, dan terbagi dalam 2 fase. Yaitu fase
selama Rasul berada di Mekkah, kurang lebih 12 tahun, 2 bulan dan 22 hari, dan
fase selama ia berada di Madinah. Kurang lebih 10 tahun.
Ayat-ayat
yang turun di Mekkah pendek-pendek dan berisi soal-soal keimanan, sedang
ayat-ayat yang turun di Madinah banyak yang berisi hukum-hukum dan tata aturan
kemasyarakatan. Oleh karena itu kebanyakkan ayatnya panjang-panjang, sesuai
dengan tabi’at kata-kata pada perundang-undangan. (Ahmad hanafi :1970:54-55)
Pedoman
Al-Qur’an dalam menetapkan hukum :
1. Tidak memberatkan
2. Meminimalisir beban
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum (Al-hikmah:2008:22)
2.
Hadist Nabi SAW
Hadist
isalah apa yang diriwayatkan dari nabi Muhammad SAW, baik berupa kata-kata atau
perbuatan atau penetapan(taqrir). Penetapan tersebut bisa terjadi, apabila
salah seorang sahabat mengucapkan sesuatu atau mengerjakan sesuatu pada
kehadiran rasul, atau ia mendengar adanya sesuatu ucapan atau perbuatan dari
seorang sahabat yang tinggal jauh dari rasul, kemudian ia diam saja atau
menganggapnya baik, maka hal ini dianggap sebagai persetujuan atas ucapan atau
perbuatan sahabat tersebut.
Kedudukan
hadist sebagai sumber hukum islam sesudah Al-Qur’an adalah disebabkan karena
kedudukannya sebagai juru penerang Al-Qur’an, dalam bentuk menjelaskan
ketentuan yang masih dalam garis besar atau menguraikan
kejanggalan-kejanggalannya atau mebataskan keumumannya, atau menyusuli apa yang
belum disebut oleh Al-Qur’an
Ulama-ulama
hadist mengadakan penggolongan terhadap hadist berdasarkan cara pemberitaanya,
yaitu :
·
Hadist
mutawatir : hadist yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad oleh orang yang menurut
kebiasaan tidak mungkin berbuat dusta, kemudian diterima oleh orang banyak.
·
Hadist
masyhur : diriwayatkan oleh perseorangan dari Nabi Muhammad kemudian pada
masa-masa berikutnya diriwayatkan oleh orang banyak dengan keadaan seperti
hadist mutawatir.
·
Hadist
ahad : darii nabi saw sampai seterusnya hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan
Kemudian hadist ahad dibagi kepada shahih(benar), Hasan(bagus), dan
dla’if(lemah), dengan didasarkan kepada keadaan diri si perawi, seperti
ketelitian-ingatan dan kejujuran pribadi dan keadaan periwayatan itu sendiri,
seperti harus tidak berbeda dengan periwayatan orang lain yang baik-baik. (Ahmad hanafi :1970:57-59).
3. Ijma’
ijma’ adalah
kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul
atas hukum syara’ untuk satu peristiwa(kejadian). Dari rumusan tsb dapat diambil
beberapa penjelasan sebgai berikut :
1. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat
baik disampaikan secara tegas melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal
sesuai dengan hukum yang disepakati itu.
2. Seluruh mujtahid berarti masing-masing
mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka
tidak terjadi ijma’.
3. Pada zaman Rasulullah saw tidak ada
ijma’ sebab setiap terjdi ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada rasul,
lalu beliau menteapkan hukumnya.
4. Atas hukum syara’ ijma’ hanya terjadi
bagi masalah yang berhubungan dengan hukum syara’ dan berdasar kepada hukum
syara’ pula ; baik berupa nash yang qoth’I yaitu Al-Qur’an dan hadist
mutawatir, sebab ijma’ bukanlah dalil syar’I yang berdiri sendiri.
(Depag : 2002:275)
Macam-macam dan tingkatan ijma’ :
1. Ijma’ Sharih(jelas) : ijma’ yang
memaparkan pendapat banyak ulama’ secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan
maupun perbuatan. Ijma’ ini menempati peringkat ijma’ tertinggi. Hokum yang
ditetapkannya bersifat qat’i, sehingga umat wajib mengikutinya.
2. Ijma’ Sukuti(diam) : sebagian mujtahid
memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu hukum
suatu peristiwa melalui perkataan dan perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain
tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak. Ijma’ sukuti ini
bersifat dzan dan tidak mengikat.
(Al-Hikmah:2008:32)
4. Qiyas
Qiyas ialah
mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan
suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi
persamaan alam antara keduanya yang disebut “illat”.
Sebagian
ulama’ sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hukum islam.
Ulama’ yang menjadikan qiyas sebgai sumber hukum disebut musbitul qiyas dan
mereka mempunyai dasar yang kuat baik nas maupun akal. Tidak kurang dari 50
ayat Al-Qur’an yang mendorong manusia menggunakan akalnya. (Ahmad hanafi :1970:63)
Macam-macam
Qiyas, yaitu :
1. Qiyas Aula : qiyas yang apabila
‘illahnya mewajibkan adanya hukum.
2. Qiyas Musawi : qiyas yang apabila
‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada apada
al-ashluu maupun hukum yang ada pada al-far’u(cabang).
3. Qiyas Adna : adanya hukum al-far’u lebih
lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. (Al-Hikmah:2008:35-36)
5. Istihsan
Menurut pengertian bahasa, istihsan berarti menganggap
baik. Sedang menurut ahli ushul yang dimaksud dengan istihsan adalah
berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas
jaly(jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy(samar-samar) atau
dari hukum kully(umum) kepada hukum yang bersifat istina’y(pengecualian),
karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
Dari pengertian diatas jelas bahwa istihsan itu ada 2, yaitu
:
1.
Menguatkan
khiyas khafi atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama hanafiah
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan
istihsan tetapi haram menurut qiyas.
2.
Pengecualian
sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan . menurut dalil kully syara’ melarang jual
beri yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia
berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan.
Para ulama berpendapat tentang kehujjahan istihsan :
1.
Jumhur ulama
menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti
menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
2.
Golongan
hanafiah membolehkan berhujjah dengan istihsan . Menurut mereka , berhujjah
dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang di kuatkan terhadap qiyas
jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya
berdasarkan dalil uyang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat
untuk mengecualikan sebagian dari hukum
kully. Dan imam malik dan pengikutnya juga menggunakan istihsan tapi dikalangan
mereka populer dengan istilah masholihul mursalah. (Al-Hikmah:2008:44-45)
6. Istishab
Istishab
ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap
dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada hukum yang mengubahnya.
Pendapat ulama tentang kehujjahan istishab :
1.
Menjadikan
istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum
ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an, as-Sunnah maupun ijma’. Ulama
yang termasuk kelompok ini adalah syafi’iyah, hanabillah, malkiyah, dhahiriah,
dan sebagian kecil dari ulama hanafiah dan ulama syiah.
2. Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum.
Yakni ulama hanafiah. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian
seperti yang disebutkan tadi adalah tanpa dasar. (Al-Hikmah:2008:45-46)
7. Mashalihul
Mursalah
Mashalih
bentuk jama’ dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah
berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan
hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak
kemadharatan atas mereka.
Pendapat ulama mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai hukum :
1.
Jumhur ulama
menolaknya sebagai hukum, dengan alasan :
a.
Bahwa dengan
nas-nas dan qiyas yang di benarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak
diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
b.
Pembinaan hukum
islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi
keinginan hawa nafsu.
2. Imam malik membolehkan berpegang kepadanya secar mutlak.
Namun menurut imam syafi’I boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila
sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara. Pendapat
kedua ini berdasarkan :
a.
Kemaslahatan
manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum
dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’I (Allah).
Tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat
yang berbeda-beda.
b.
Para sahabat dan
tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukumuntuk mewujudkan maslahat
yang tidak ada petunjuknya dari syari’. Misalnya membuat penjara, mencetak
uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.
3. Syarat-syarat berpegang kepada mashalihul mursalah :
a.
Maslahat itu
harus jelas dan pasti bukan untuk kepentingan pribadi.
b.
Maslahat itu
bersifat umum, bukan untuk kepentingan
pribadii
c.
Hukum yang
ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau
prinsip yang telah ditetapkan dengan nas atau ijma’. (Al-Hikmah:2008:46-47)
8.
Al-‘Urf
Al-‘urf
ialah segala sesuatu yang sudah daling dikenal dan di jalankan oleh suatu
masyarakat dan sudah menjadi istiadat(kebiasaan), baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat indonesia pada perkawinan
ialah bahwa keluarga dari pihak calon mempelai perempuan untuk meminangnya.
Macam-macam al-‘urf dan hukumnya
:
1.
‘Urf shahih,
yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari’at,
tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban.
2. ‘Urf fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan
syara. ‘Urf jenis ini hukumnya haram. (Al-Hikmah:2008:47)
9. Syar’u man
Qablana
Yaitu syari’at
yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum
datangnya agama islam.
Pembagian
dan hukumnya :
1.
Apa yang
disyari’atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat nabi Muhammad,
baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun
melalui kisah, seperti qishash.
2. Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak disyari;’atkan
kepada kita. Misalnya yang disyari’atkan
kepada nabi Musa, seperti “dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain
membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci
kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut’. Terhadap syari’at
jenis kedua ini para ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syari’at kita
telah menghapusnya. (Al-Hikmah:2008:48)
10.Saddudz Dzari’ah
Ialah melarang perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia
membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh agama.
Kedudukannya
sebagai sumber hukum :
1.
Menurut imam
malik bahwa saddudz dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun
mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama
Madzhab Maliki menyatakan : “Sesungguhnya apa-apa yang dapat mendorong
terjerumus kepada perkara yang dilarang(maksia) adakalanya secara pasti
menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan.
Yang pasti menjerumuskan kepada
maksiat bukanlah termasuk saddudz dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab
perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada
maksiat itulah yang termasuk saddudz dzari’ah.
2.
Menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’I, bahwa saddudz dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber
hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan
sebagai yang mubah. (Al-Hikmah:2008:49)
11.Mazhab syahaby
Ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang
dinyatakan setelah Rasulullah wafat. Fatawa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan
oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah.
Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi
menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati(ijma’ sahaby) dan hasil
ijtihad yang tidak disepakati.
Kedudukan mazhab shahaby :
1.
Mazhab sahabat
yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib
ditaati, sebab hakikatnya ia merupakan sunnah Rasul.
2.
Mazhab sahabat
yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati(ijma shahaby) dapat
dijadikan hujah dan wjib ditaati, sebab mereka disamping dekat dengan Rasul,
mereka mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sering terjadi,
antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yakni seperenam.
3.
Mazhab sahabat
yang tidak mereka sepakati tidak dijadkan hujah dan tidak wajib diikuti. Abu
Hanifah dan Imam Syafi’I menyatakan : “Tidak melihat seorang pun ada yang
menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujah”. Sebab perkataan sahabat
tersebut didasarkan kepada ra’yu dan diantara sahabat sendiri juga berbeda
pendapat, dan mereka tidak luput dari kesalahan. (Al-Hikmah:2008:50)
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan
Bermasyarakat
Yang diatur dalam hukum islam bukan hanya hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan drinya sendiri, manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda dan manusia dengan
lingkungan hidupnya. Tujuan hukum islam lebih tinggi dan bersifat abadi,
artinya tidak terbatas kepada lapangan materiil yang bersifat sementara, karena
factor-faktor individu, masyarakat dan
kemanusiaan pada umumnya selalu diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain,
dan dengan hukum isalm dimaksudkan agar kebaikan mereka semua dapat terwujud.
Dalam
lapangan ibadah misalnya, shalat, puasa, zakat, dan haji, dimaksudkan untuk
membersihkan jiwa dan mempertemukannya dengan Tuhan, kesehatan jasmani dan
kebaikan individu maupun masyarakat bersama-sama dengan berbagai-bagai seginya.
Pada lapangan mu’amalat(hubungan sesame manusia)dengan segala macamnya tujuan
tersebut Nampak jelas juga, seperti yang terlihat pada aturan-atutan pokok
hukum islam yang menguasai lapangan tersebut.
Peranan
utama hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat :
a.
Fungsi ibadah. Fungsi paling
utama hukum islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum islam adlah
ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan
ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
b.
Fungsi ‘amar ma’ruf nahi munkar.
Hukum Islam sebagai hukum yang ditujukan untuk mengatur hidup dan kehidupan
manusia, jelas alam praktik akan selalu bersentuhan dalam masyarakat.
c.
Fungsi “zawajir”.. fungsi ini
terlihat dalam pengharaman mmbunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman
hukuman atau sanksi hukum. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum islam
sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk
ancaman serta perbuatan yang membahayakan.
d.
Fungsi “tanzim wa islah
al-ummah”. Sebagai sarana unruk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses
interaksi social sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman dan
sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum islam menetapkan aturan yang cukup
rinci dan mendetail sebagaiman aterlihat dalam hukum yang berkenaan dengan
masalah yang lain, yakni : masalah muamalah yang pada umumnya hukum islam dalam
masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
(Ibrahim Hosen, 1996 : 90)
Syarat-Syarat Hakim
Syarat-syarat
Hakim :
1.
Warga Negara Indonesia;
2. Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Setia
kepada pancasila dan UUD 1945;
4. Bukan
bekas anggota organisasi terlarang;
5. Berijazah
sarjana hokum(diutamakan S3);
6. Berumur
serendah-rendahnya 50 tahun dan setinggi-tingginya 60 tahun;
7. Berpengalaman
sekurang-kurangnya 25 tahun di bidang hokum,baik sebagai pengajar,peneliti,atau
pengacara/konsultan hokum*1)
8. Berwibawa,jujur,adil,
dan berkelakuan baik.
Seorang
hakim dilarang merangkap jabatan sebagai berikut :
1.
Pelaksana putusan MA;
2. Wali,Pengampu
dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang akan sedang dioeriksa;
3. Penasehat
hokum;
4. Pengusaha*2)
5. Pejabat
pada pemerintah;
6. Angoota
DPR,DPRD.Tk 1/Tk 2;
7. Anggota
DPA/BPK;
8. Pengurus,
termasuk pengawas atau komisaris BUMN/BUMD;
9. PPAT
10. Anggota
P4P atau P4D
11. Wasit
(arbiter) dalam perkara perdata;
12. Anggota
PUPN;
5
Hakim agung atau hakim yang menjabat sebagai
pejabat pemerintah dibebaskan sementara dari jabatanhakim agung atau hakim.
Bagi hakim
selain hakim agung,pembebasan juga berlaku dalam hal menjabat sebagai anggota
DPR, DPRD Tk.1/DPRD Tk.2
Untuk
jabatan selain tersebut di atas,maka hakim agung atau hakim akan
diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim agung/hakim*3)
Pembebasan
sementara Hakim Agung ditetapkan oleh Presiden. Bagi hakim lain,pembebasan
sementara ditetapkan oleh menteri yang melingkupi tugas wewenang
administrai,organisasi, dan keuangan pengadilan yang bersangkutan.
Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis
pelaksanaan putusan yaitu :
1. Putusan
yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
2. Putusan
yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
3. Putusan
yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap
4. Eksekusi
riil dalam bentuk penjualan lelang
Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan
pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :
1.
Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :
a.
Pelaksanaan putusan serta merta, putusan
yang dapat dilaksanakan lebih dahulu
b. Pelaksanaan putusan provinsi
c. Pelaksanaan akta perdamaian
d. Pelaksanaan Grose Akta
b. Pelaksanaan putusan provinsi
c. Pelaksanaan akta perdamaian
d. Pelaksanaan Grose Akta
2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak
terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning)
oleh ketua pengadilan.
3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir,
sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi.
4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah
pimpinan Ketua Pengadilan.
Sedangkan yang berwenang melaksanakan
eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi tidak berwenang
melaksanakaan eksekusi.
Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Pengenalan Hukum di
Indonesia
A.
Proses MasuknyaKebudayaan dan Pengaruh Islam
Menurut teori Receptie, semenjak Islam datng
ke Indonesia sekitar abad ke-7 M,telah membawa perubahan-perubahansosial dalam
kehidupan masyarakat.Kebudayaan Islam diterima oleh masyarakat Indonesia
walaupun pada mulanya terjadi pertentangan dengan kebudayaan penduduk asli yang
telah lama dipengaruhioleh unsure-unsur kebudayaan timur dan Budha. Pada
tahapakhir dari proses pertemuan kebudayaan tersebut terjadi semacam
akulturasi, artinya kebudayan yang saling berbeda dapat diterimaoleh
masyarakatdan di olah dalam masyarakat itu sendiri,tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian budaya itu sendiri.
Perubahan-perubahan
social budaya yang terjadi meliputi budaya spiritual,seperti ajakan agama Islam
yang secara kualitatif telah mengagungkan hidup yang lebih maju terutama dalam
bidang Ketuhanan Yang Maha Esa yang
membebaskan manusia dari sifat kemusrykan dan ketakhayulanlain.
Perubahan-perubahan lain yang kita soroti di sini adalah hokum, karena
perubahan social tidak munkin dilepaskan dari perubahan dalam bidang hokum itu
sendiri.
B.
Perjuangan Tegaknya Hukum Islam
di Indonesia
Kondisi
masyarakat Indonesia bersifat pluralistic(majemuk), yang terdiri dari berbagai
suku,ras, dan agama/kepercayaan ang berbededa. Oleh karena itu,hukum yang
berbeda-bedapun berlaku di bebragai daerah di Indonesia.
Hukum
Islam pun tidak serta-merta menjadi
hukum yang mendominasi dan harus berlaku di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
adanya ‘teori receptie’ yang dibuat oleh Snouck Hugronge(1857-1936) ketika ia
menjadi penasihat utama bagi pemerintah Hindia Belanda yang ajarannya berisi
bahwa hukum Islam tidak berlaku abgi umat Islam di Indonesia atau dengan kata
lain hukum Islam bukanlah hukum Indonesia kalau tidak dikehendaki atau diterima
oleh hukum adat. Formalnya teori ini tercantum dalam 1.5.Indische
Staatscegeling pasal 134 ayat(2).
Jika
ditelusuri lagi sejarah pada abad ke-7,
dapat dilihat bahwa hokum Islam telah masuk dalam masyarakat Indonesia melalui
penerimaan keadaan kehidupan sehari-hari, yang disebut dengan ‘hukum adat’. Hal
ini jelas mencerminkanbahwa hokum Islam masuk dan meresap dalam masyarakat
Indonesia dengan cara ‘pembinaan’, sehingga hokum Islamdapat diterima dantidak
dibenarkan bahwa hukum Islam harus tunduk dengan hukum adat yang telah banyak
berubah kearah yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Namun, para
pemikir Indonesiasangat berpegang pada teori teceptie ini dan beranggapan bahwa
hukum Islam baru bias diberlakukan apabila telah dikehendaki oleh hokum adat.
Polemic
ini telahmenjadi pokok pembicaraan yang dibicarakan oleh para sarjana hokum
Indonesia. Dan menyatakan bahwa teori receptie ini adalah “Teori Iblis”. Juga
dinyatakan bahwa teori ini sangat bertentangan dengan UUD
1945(ProfDr.Hazairin,1985:12).
Teori
ini harus exit, karena sangat
bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah Rasul. Selain itu ada juga teori
“Receptie e Contrtario” yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku bila
tidak bertentangan dengan hukum islam(Sayuti Thalib,1985:13).
C.
Harapan baru Hukum Islam dan Kontriibusinya terhadap hokum
di Indonesia
Pada awal masa orde baru, ada harapn baru
bagi dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia. Harapan baru itu timbul
setidaknya karena umatIslam member kontribusi yang cukup dalam menunbangkan rezim
orde lama. Namun, pada realisasinya keinginan ini bertabtakan dengan
strategi pembengunan orde baru yaitu membicarakan masalah ideology selain pancasila terutama yang bersifat
keagamaan(DR.Amiir Nurudin,1985:14).
Dalam orde baru ini, banyak produk hukum Islam yang menjadi
hukum positif yang berlaku secara yuridis formal , walaupun didapat dengan
perjuangan keras umat Islam di antaranya
oleh Ismail Sunny. Beberapa peraturan perundanga-undangan yang berkaitan dengan
hukum Islam :
1.
UU No. 1 tahun 1974, tentang
perkawinan
Politik hukum memberlkakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde
baru, ini dibuktikan dlam pasal 2UU ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepecayaan. Dan pada pasal 63 dijelasakn bahw ayang dimaksudd denga pengadilan dalam
UU ini adlah Pengadilan Agama(PA) bagi
umat Islam dan Pengadilan Negeri(PN) bagi agama lain. Dengan Undang-undang ini,
pemerintah dan DPR memberlakukan hukum
Islam bagi pemeluknya dan mengesahkan pengadilan
agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
2.
UU No.7 1989,tentangPeradilan
Agama.
Dengan disahkan Undang-Undang PA tersebut,maka
terjadiperubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA, di antanranya:
Ø PA
telah menjadi persdilsn msndiri, kedudukannya
benar-benar telah sejajar dengan
peradilan umum,peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Ø Nama,
susunan, wewenang, kekuasaan, dan hukum acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Dengan
kata lain Univikais hukum acara PA memudahkan
ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.
Ø Terlaksanya
pembangunan hukum nasional
berwawasan nusantara dan Bhineka Tunggal Ika dalam UU PA.
3.
Instruksi Presiden No. 1 1991tentang Kompilasi Hukum
Islam
Untuk mengerti ketidakpastian patokan hukum yang
digunakan para hakim untuk mencetuskan
sebuah perkara, sehingga terbitlah keputusan
bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung(MA), dan Departemen Agama yang membentuk proyek
kompilasi hukum Islam dengan tujuan merancang 3 buku hukum, yang masing-masing
tentang Perkawinan (buku 1), Buku
Kewarisan(buku 2), dan buku Hukum perwakafan (buku3).
Bulan
Februari 1988, ketiga buku tersebut mendapat dukungan luas dari para Ulam
Indonesia, sampai pada tanggal 10 Juni 1991, presiden Suharto menandatangani instruksi Presiden No. 1
tahun 1991 sabagai dasar hukum berlakunya ketiga buku tersebut.
4.
Peraturan Pemerintah No.28 tahun
1977, tentang Perwakafan Tanah.
5.
UU RI No.38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.
6.
UU RI No. Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Haji.
Seiring
dengan berjalannya waktu, hukum Islam semakin diterima dalam kehidupan
masyarakat, namum diperlukan waktu yang lama untuk dapat menanamkan nilai-nilai
Islam di masyarakat agar dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.
Daftar Pustaka
Team Musyawarah Guru Bina
PAI, Modul
Pembelajaran Fiqih kelas III untuk Madrasah Aliyah (AL-HIKMAH),
Akik
Pusaka.
Hanafi,
Ahmad. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
www.
google. com//Wahyu Kuncoro, SH. Tips-Trik Pelaksanaan Hukum Peradilan.
Mansoer, Hamdan. 2004.
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta, Direktorat Perguruan
Tinggi
Agama
Islam Departemen RI.
Departemen
Agama RI, Fiqih Kelas III Madrasah Aliyah, Semarang, Toha Putra.